Sabtu, 18 Juli 2009

Bom Lagi di Mariot Hotel Jakarta... Innanilahi wa Innanilahi Ro’jiun

Innanilahi wa Innanilahi Ro’jiun… , lagi-lagi kota Jakarta kita tercinta ditimpa musibah. Kemarin waktu baru pulang dari ngajar di IMS, salah seorang temanku mengatakan bahwa tadi pagi, pada hari Jumat tertanggal 17 Juli Hotel J.W Marriot dan Ritz Carlton di Bom.

Pertama kali mendengar berita itu, aku mengira hanya sekedar belaka. Langsung begitu aku sampai dirumah, aku nonton televisi untuk memastikan berita tentang Bom yg aku dengar dari beberapa teman dan radio itu.

Astagfirullah, ternyata berita itu benar A adanya! Aku langsung lemas dan ingin menangis keras, karena kejadian ledakan bom persis bersebelahan dengan Plaza Mutiara tempat aku magang kerja. Tepatnya ditempat salah seorang keponakan mantan Presiden BJ Habibie Oom Adrie Soebono di kawasan lingkaran Mega Kuningan itu.

Bukan sekedar sedih karena ledakan itu mengambil nyawa 9 orang dan puluhan korban luka-luka, namun aku juga sangat takut bahwa ledakan itu juga termasuk mengambil atau melukai temen-teman dekatku di PT. JAVA MUSIKINDO, yang kantornya terletak di Plaza Mutiara lantai dua. Sangat-sangat bersebelahan dengan Hotel J.W Marriot!

KEtika melihat gedung Plaza Mutiara hancur lebur ditelevisi, aku langsung mencoba mencari nomor telpon untuk mencek orang-orang JAVA untuk menanyakan keadaan mereka. Pertama-tama aku mencoba menelpon mbak Christy Subono (anak keduanya Om Adrie Subono)... nyambung sih! Tapi tidak diangkat, namun aku tidak putus asa, aku mencoba nelfon orang-orang JAVA yang lain -- karena aku emang kuatir banget sama keadaan mereka. Mbak Nova Wenas maupun Mbak Yudith Arselan orang-orang Java lainnya juga sama. Baru setelah aku coba menelfon sekertarisnya Om Adrie, Mbak Ida Marpaung, aku bisa sedikit tenang. Alhamdullilah dari info yang kudapat dikatakan bahwa orang-orang di JAVA tidak kenapa-napa. Karena ledakan itu kejadiannya pagi hari pada jam 7.00, sementara biasanya mereka datang diatas jam segitu.

Syukurlah kalo begitu, paling tidak teman-teman di JAVA selamat Meskipun aku tahu, bahwa kejadian berulang ini akan meniggalkan trauma mendalam bagi mereka semua. Yah aku hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi mereka yang selamat atau terhindar dari kejadian tragis itu. Dan berdoa juga buat mereka yang menjadi korban, semoga arwah mereka diterima di sisi Allah S.W.T... amiin!

Kehilangan nyawa ini lebih membuat luka daripada sekedar kehilangan kesempatan menonton MU (Manchaster United) grup sepakbola dari Liga Inggris.

Jumat, 17 Juli 2009

Komitmen Ayah Ikangku pada Banten

By Republika Newsroom

LEBAK — Jika sebelumnya dikenal pendukung kuat isterinya sebagai Cagub Banten dari PDIP, Rocker Ikang Fauzi kini mencalonkan legislatif (caleg) DPR-RI dari Partai Amanat Nasional (PAN) mewakili daerah pemilihan Kabupaten Lebak dan Pandeglang, Provinsi Banten. “Insyallah, jika saya terpilih nanti menjadi anggota DPR-RI diprioritaskan pembangunan infrastuktur di wilayah Banten,” kata Ikang Fauzi di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Selasa.
Menurut dia, saat ini sarana infrastuktur di Provinsi Banten sangat memprihatinkan, sehingga perlu adanya percepatan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Misalnya, pembangunan infrastuktur jaringan air minum, sarana jalan desa hingga nasional, pemukiman, perkotaan, transportasi angkutan massal, pendidikan dan lainya.
Selain itu, untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat pihaknya akan memperjuangkan membuka jalan Kereta Api dengan rel ganda (double track) antara Serpong-Merak.”Saat ini jaringan transportasi KA masih menggunakan satu rel sehingga banyak warga Jakarta enggan tinggal di daerah Banten,” ujarnya.

Ia mengatakan, dirinya apabila duduk di DPR-RI akan menangani bagian Komisi V yakni bidang sarana infrastuktur. Ikang Fauzi kelahiran Jakarta, 49 tahun lalu, itu mengaku sudah menyiapkan kiat-kita program pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Banten.

Apalagi, dirinya asli keturunan Rangkasbitung, tentu memiliki tanggungjawab moral untuk mengangkat kehidupan masyarakat Banten. Lelaki yang ngetop membawakan lagu Preman bergabung PAN sejak tahun 1997 bersama Amin Rais. Namun pemilihan tahun lalu dirinya tidak masuk duduk di DPR-RI. “Saat itu kami sama-sama mencalonkan legislatif DPR-RI dengan artis Dede Yusuf,” katanya.

Ahmad Zulfikar Fawzi sebagai rocker tahun 1980-an — begitu nama panjangnya — yang alumni FISIP -UI jurusan Administrasi Niaga, yang kini melanjutkan pada program MBA di UGM Jogyakarta pada Fakultas Ekonomi Bisnis yang dipimpin oleh Prof. Dr. Boediono Wapres RI kita 2009-2014 ini. Ikang FAwzi tercatat juga sebagai pengusaha Properti dan Wakil Kamar Dagang Industri (Kadin) Bidang Pemukiman. (ant/kp)

Menemani Ayah Ikang Fawzi Kampanye Buat Pak Walikota Dada Rosada-Ayi

Bandung - Kampanye pertama pasangan nomor 1 Dada-Ayi yang dimulai sejak pagi tadi masih berlangsung hingga saat ini, pukul 11.30 WIB. Artis Ikang Fawzi yang sekaligus juga adalah kader PAN dari Banten, ikut berorasi mengampanyekan pasangan nomor urut satu ini.

Dalam orasinya singkatnya, Ikang mengatakan bahwa pasangan Dada-Ayi adalah pasangan yang cocok. “Ini pasangan yang cocok. Yang satu berpengalaman dan yang satu masih muda,” kata Ikang di atas panggung, Kamis (24/7/2008).

Hanya 5 menit Ikang berorasi. Dia langsung menyanyikan lagi ‘Will Rock You’ yang dia plesetkan menjadi Dada… Dada… Ayi! Ajakan bernyanyi Ikang ke simpatisan langsung disambut. Ribuan simpatisan yang sejak pagi telah datang langsung mengikuti ritme lagu yang Ikang nyanyikan. Ikang Fawzi membawakan empat lagu dengan sangat antusiastik serta energik.

Tak ketinggalan pasangan calon juga menyampaikan orasi politiknya. Menurutnya pasangan Dada Rosada dan Ayi dalam orasinya dikatakan bahwa jika orang lain masih memberikan janji maka Dada-Ayi sudah memberikan bukti dan bukan mimpi. Dada melanjut: “Saya akan lanjutkan apa yang sudah dan sedang terlaksana. Tujuh program prioritas harus tetap diteruskan. Mudah-mudahan warga memilih Dada-Ayi dengan mencoblos kan dadanya,” kata Dada Rosada. Senada dengan pasangannya, Ayi mengajak warga Bandung untuk mencoblos nomor satu. “Kalau ada nomor nomor satu buat apa nomor dua dan tiga. Warga Bandung tidak ‘Trendi’ dan ‘Independen’ kalau tidak memilih Dada-Ayi,” kata Ayi disambut tepuk tangan dan elu-elu simpatisan yang datang dalam kampanye.

Tampak di atas panggung para pengisi acara mulai dari kyai-kyai Persis, NU dan FPI hingga komedian seperti Aom Kusman serta biduan dangdut dari grup Bungsu Bandung. Sementara jadwal Marissa Haque sang istri akan dipanggungkan minggu depan karena sedang berumroh dengan beberapa anggota timsesnya dari PPP kota Bandung dan Kota Cimahi. (afz/ern)

Jeritan Pedagang Pasar Tradisional: Tulisan Ibuku Marissa Haque

Tulisan Ibuku Membela Pedagang Tradisional di Jawa Barat Dapilnya dari PPP, 2009 Lalu.

Empatiku yang luar biasa kepada pasar tradisional ketika melihat data yang ada. Memang data ditanganku ini bukan yang paling terakhir, namun tahun 2007 bukanlah tahun yang terlalu lama telah lewat. Dimana sejumlah 4.707 pasar tradisional ditinggalkan pedagang karena kalah brrsaing dengan ritel modern dalam lokasi yang sama. Angka diatas tersebut adalah setara dengan besaran 35% dari total pasar tradisional diseluruh Indonesia. Percepatan pertumbuhan ritel modern didalam kurun waktu sangat singkat berhasil menggilas sumber pendapatan wong cilik pada lini akar rumput.

Data yang saya peroleh dari Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional menyatakan bahwa pada tahun 2007 jumlah total pedagang tradisional terdapat sebanyak 12.625.000 pedagang, namun pada akhir tahun 2008 tercatat tinggal 11.000.000 pedagang saja. Sehingga total dala jangka waktu hanya setahun, sebanyak 1.625.000 pedagang yang gulung tikar. Jika kondisi ini dibiarkan terus menerus dan didalam kampanye Capres dan Cawapres 2009 ini hanya ada 1 (satu) saja pasangan yang menyentuh kepentingan perlingan pada kelompok ini dapat dibayangkan tak lama lagi sebagian besar dari mereka akan mati pelan-pelan seperti apa yang pernah dijelaskan didalam teori Darwin terkait dengan istilah proper to the fittest.

Ritel Masuk Desa Tasik dan Garut, Jabar

Penyebab yang signifikan membunuh para pedagang tradisional ini adlah ketika pasar ritel modern yang tadinya hanya berada dikota-kota besar kemudian merambah tak terkendali hingga masuk kedesa-desa. Sebagai contoh adalah wilayah Dapil Jabar 10 dan 11 ketika kampanye legislatifya ng baru lalu kemarin – sekitar Garut dan Tasikmalaya. Dikota Tasikmalaya yang memiliki luas 171 km2 sekarang ini telah berdiri 9 buah supermarket dan 13 minimarket, ditambah 1 buah hypermarket yang berlokasi ddialam pusat belanja Maya Sari Plaza – sebelumnya adalah sebuah pasar tradisional. Ritel modern ini menawarkan harga jual yang jauh lebih murah serta suasana yang lebih nyaman kepada para pengunjungnya. Barang lebuh murah yang ditawarkan kepada pembeli biasanya berkisar sekitar consumer goods dan house holds dari tusuk gigi, peniti sampai barang elektronika.
Beberapa diversivikasi usaha yang merupakan SBU (strategic business unit) dari peritel ini adalah juga memproduksi sendiri beberapa produk urusan rumah tangga, antara lain seperti: kecap, kertas tisu, dan lain sebagainya dengan memakai merek mereka sendiri yang mereka sebut sebagai private label semisal yang telah diproduksi peritel asal Perancis Carrefour. Biasanya produk-produk yang diproduksi oleh peritel besar ini jatuhnya menjadi sangat murah karena mereka langsung berhubungan dengan produsen. Lama-lama mereka juga mengembangkan usaha menjadi principal, distributor sekaligus grosir. Sehingga semakin sempit dan tersingkirkan saja ruang gerak mereka yang bergerak dilini bawah terkait dengan ekonomi kerakyatan.

Kebijakan pemerintah yang meminggirkan keberadaan mereka ini, diperkuat dengan Permendag No. 53 Tahun 2008 berisi 28 buah pasal yang yang ditandatangani oleh Ibu Marie Pangestu pada tanggal 12 desember 2008, berisi pengaturan tentang pedoman penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan pasar modern. Besar harapan saya dan sebagian besar pengamat ekonomi kerakyatan agar para pasangan Capres dan Cawapres yang akan maju nanti ini ada yang dengan serius menyatakan keberpihakannya atas intervensi dari Negara kepada para pengusaha jaringan akar rumput ini demi pemerataan ekonomi berkelanjutan yang tidak sekedar mengejar growth atau pertumbuhan semata. Kalau toh ada yang meneriakkan kepentingan pemerataan baru terlihat pada iklan Bapak Prabowo Subianto semata, karena kebetulan Bapak Prabowo juga adalah Ketua dari Persatuan Pedagang Tradisonal ini.
Namun begitu Pak Prabowo bergabung dengan Ibu Megawati, apakah cerita kedepannya masih akan sama? Ini adalah peluang sekaligus tantangan yang masih belum terlihat nyata digarap dengan serius oleh seluruh pasangan Capres yang tiga pasang ini tanpa terkecuali.

Allahu Akbar! Kita belum merdeka!

Kopi dan Kenangan: Tulisan Lama Ibuku Marissa Haque

Tulisan untuk Majalah Noor, Desember 2003

My Mother Marissa Haque’s Story

Jakarta, 1 Desember 2003.

Hari ini, hari Minggu. Masih suasana liburan Lebaran. Hari-hari terakhir sebelum aku akan kembali ditenggelamkan oleh segudang target kehidupan dan masa depan. Termenung aku duduk di Musholaku. Semilir bau tanah basah bekas hujan semalam. Bunga Kembang Sepatu merah tua seakan menyapa selamat pagi untukku yang sedang enggan mandi pagi. Kupandangi kursi tua yang kududuki, warisan ibuku. Kuraba sarung jok dibawah kimono katun yang kupakai. Rasanya baru saja kuganti seminggu sebelum lebaran, tapi entah kenapa getaran kuno dari kursi tua ini selalu melambungkanku pada suatu masa kebersamaan yang hangat. Masa-masa yang terekam kuat dibawah sadarku. Orang-orang yang dekat dihati, yang telah pergi sebanyak satu generasi. Ayah Ibuku, dan keluarga besar Ibuku yang aku kasihi. Masih teringat dibenak saat kecil kami berempat—Shahnaz adikku yang terkecil belum lagi lahir—Mama, Papa, Soraya, dan aku berlibur dari pelosok kabupaten kecil di Plaju-Baguskuning, Palembang tempat ayahku bekerja sebagai karyawan Pertamina, menuju kota Bondowoso, Jawa Timur kampung masa kecil almarhumah Ibuku.

Sepanjang perjalanan dengan memakai pesawat Fokker F28, yang sudah sangat terasa mewah saat itu, kami pergi terlebih dahulu menuju Jakarta, kemudian transit melalui Surabaya diteruskan perjalanan melalui darat melewati daerah Pasir Putih, baru setelah itu tiba di Bondowoso, Jawa Timur. Kami menginap dirumah besar orang Belanda istri kedua sepupu Eyang Putriku. Karena tak memiliki anak dari perkawinannya, beliau menganggap Ibuku dan semua sepupunya sebagai anaknya sendiri. Perjalanan ini menjadi istimewa, karena tak lama setelah liburan kami, Oma Belanda itu meninggal dunia.

Ada benang merah yang membuat aku flash back kepada masa lalu. Tekstur kursi tua yang aku duduki warisan almarhumah ibuku dari rumah Belanda di Bondowoso dan aroma kopi tubruk dari cangkir yang aku gengam. Aroma ini sangat mirip dengan rekaman masa lalu bawah sadarku. Aroma yang memanggil-manggil. Ah,…wangi kopi! Bagaimana mungkin aku mengacuhkan keberadaan kopi, karena sejak diperkenalkannya di Bondowoso saat aku kecil, aku selalu ingin tahu lebih jauh. Bukan hanya karena suka akan rasa dan aromanya, akan tetapi kepada hikayat cerita yang melengkapinya. Membawa aku berkelana jauh dimasa ratusan tahun dibelakang. Oma Belanda ini sangat faham sejarah dunia, beliau juga sangat tahu nama-nama jenis kopi yang ditanam serta dibudidayakan disekitar rumah besarnya. Ya, beliau dan suaminya yang orang Jawa Timur adalah pemilik lahan luas perkebunan kopi Bondowoso saat itu.
Masih teringat bagaimana aku sambil terkantuk duduk bersandar dibahunya, mendengar dengan seksama cerita-cerita memikat. Diceritakan bahwa biji kopi yang terbaik dari Bondowoso adalah yang sudah dimakan Musang, yang keluar bersama kotorannya. Saat itu biji kopi juga bisa didapatkan dari berbagai perkebunan lain ditanah air. Antara lain dari Aceh, Medan, Toraja, Timor, juga daerah tetangganya di Jawa Timur, Jember. Biji-biji kopi yang merah tua itu disimpan dalam karung goni digudang selama lima sampai tujuh tahunan. Biji- biji tersebut kemudian dijemur dibawah sinar matahai selama minimal tujuh jam. Setelah itu ditumbuk, disangrai, setelahnya digiling. Wah, bahagianya aku dapat membayangkan seluruh proses produksinya. Bahan informasi awal inilah yang membuat aku hari ini bersiap- siap “pulang kampung” ke Bondowoso, bernostalgia tentang keberadaan lingkungan perkebunan kopi tersebut terutama melihat kondisinya setelah terkena landreform beberapa belas tahun yang lalu, serta melihat kemungkinan membuat film dokumenter tentang Kopi Arabika asal Jawa Timur.

Cerita sang Oma semakin memikatku, apalagi setelah diperkaya oleh hikayat perdagangan yang dilakukan orang-orang Belanda di Nusantara sebelum sang Oma lahir, kerjasama yang didasarkan secara berat sebelah oleh Kompeni, orang-orang bumi putra yang merebut kembali kekuasaan tanah ulayat milik adat, serta percintaan “terlarang” nya dengan Eyang Kakung yang tidak utuh kuserap karena faktor usia. Kuingat Soraya sudah asyik terlelap dikasur lebar, dikaki Oma Belanda bersama para sepupu yang lain.

Sang Oma juga membagi resep, beliau mengatakan bahwa baginya usaha kopi sangat kaya seni. Seluruh proses produksi—diluar pembudidayaan kebun—dipegangnya sendiri. Ia berprinsip menjual kopi yang harus fresh. “Cara” baginya adalah sangat penting, jumlah bukan bidikan pertama. Setiap kesalahan berproses adalah proses belajar itu sendiri, kata beliau. Kata-kata ini juga yang selalu terekam dibawah sadarku, bahwa sebuah proses belajar tidak ada yang instant. Hasil akhir biarkan menjadi misteri, yang penting adalah menikmati proses belajarnya. Karena belajar itu asyik. Harus proaktif mendatangi beberapa pakar, tidak malu untuk bertanya, serta menjalin silaturahmi berkala kepada siapa saja yang bermurah hati untuk membagi ilmunya—karena menurut beliau didunia ini tidak banyak orang ikhlas yang tulus mau berbagi ilmu pada sesama.

Dan detik ini, aku lupa bahwa aku belum menyiapkan sarapan apapun untuk keluargaku. Bik Inah pembantu yang sudah ikut puluhan tahun di dalam keluargaku masih pulang kampung, belum balik lagi. Jadi sebenarnya inilah saat yang paling tepat bagiku untuk mengekspresikan rasa cinta pada keluarga melalui perut. Salah satunya adalah dengan menuangkan kopi dalam cangkir-cangkir keramik biru kesayangan. Yang sedikit besar untuk Ikang suamiku, sementara ukuran sedang untuk Mertuaku. Anak-anakku menyukai rasa kopi didalam campuran Mocca Cream dalam mug besar. Aku ingin meneruskan kebiasaan berdiskusi ringan dengan mereka semua dimeja makan. Tentang apa saja. Tentang headline dikoran hari ini, tentang Politik, Ekonomi, atau Sosial dan Budaya. Bila diskusi tidak nyambung, tidak mengapa. Aku ingin menciptakan suasana cerdas dimeja makan. Juga penting membina kebiasaan mengutarakan pendapat dengan cara yang santun dan terasah. Mertuaku yang mantan Diplomat Karir biasanya menjadi mentor informal. Sehingga Kopi bagiku bukan sekedar minuman belaka, tetapi juga adalah perekat tali emosi didalam keluarga.

Sementara itu diluar rumah, aku sering sekali memilih Coffee House atau Coffee Lounge sebagai meeting point walau sekedar social chat demi menyambung silaturahmi. Lebih serius lagi sering pula menjadi tempat membina relationship dengan relasi bisnis.

Kopi memang selalu menarik. Semenarik harumnya yang selalu membuat orang mau tidak mau—walau sekedar hanya untuk menghirup aroma— menyita minimal satu atau dua detik untuk menikmatinya.

Aroma Kopi, bagiku adalah aroma cerdas dan elegant.

Aku Anak Sulung Ikang Fawzi dan Marissa Haque

Saya adalah anak tertua pasangan Ikang Fawzi dan Marissa Haque. Saya memiliki satu orang adik perempuan yang sekarang sedang kuliah di Malaysia. Namanya Marsha Chikita Fawzi.

Ceritaku Tentang Minat Berbahasa & Mengajar PAUD

Berawal dari Buku Cergam Bilingual
Sejak kecil ibuku Marissa Haque rajin menjejali aku dan adikku – kami hanya berdua perempuan semua (Chikita Fawzi namanya) – dengan berbagai buku bilingual (dwi bahasa Indonesia-Inggris). Kebetulan disaat itu Ibu Icha (demikian nama panggilan kesayangan kami untuknya) sedang menyelesaikan pendidikan master pertamanya di Universitas Katolik Atmajaya Jaya dengan jurusan Psiko-linguistik dengan Kekhususan Bahasa Inggris untuk Pendidikan Anak-anak Cacat/Tuna-rungu. Disaat itu aku dan adikku sangat ingat bagaimana Ibu Icha menabung setiap sepluhan ribu honor main film-nya serta menjadi model foto majalah serta iklan yang kemudian menjadi sisa anggaran belanja dapur rumah kami agar dapat membeli multi-vitamin dan minyak ikan Scotts Emoltion serta buku cergam dua bahasa. Seingatku pula, yang paling sering dibawa pulang buku-buku terbitan Mizan Publisher, Bandung. Bahkan ada tokoh kartun seekor kucing kecil cerdas dan jenaka bernama Si Mio yang tak pernah kulupakan coretan buah karya Kak Andi Yudha sang ilustratornya.

Puisi Awal Temuan Bunda Neno Warisman
Setiap pertemuan dengan banyak teman-temannya ada yang selalu kuingat dari Ibu Icha adalah selalu bercerita membanggakan salah seorang kawan karibnya yang bernama Neno Warisman – seorang aktivis pendidikan dunia anak yang sekaligus penyanyi terkenal itu. Ibu Icha selalu menyatakan bahwa tanpa temuan Bunda Neno atas puisi karyaku didalam serbet kertas untuk tamu itu disalah satu tong sampah kering didapur listriknya, Ibu Icha tidak mungkin dapat mengetahui bakat keberbahasaanku. Bahkan Ibu Icha selalu mendoakan agar disuatu saat setelah dewasa kelak aku mampu actual dibidang Seni Sastra dan Bahasa termasuk dunia ajar-mengajar terkait dengan languages. Secara bercana Ayah Ikang dan Mama Uttie sering ‘mengolok’ sayang agar kelak aku dapat kesempatan memenangkan hadiah Nobel dibidang Sastra untuk Indonesia…

Kuliah di FIB-Universitas Indonesia
Menjadi mahasiswi di Universitas Indonesia adalah mimpi besarku saat duduk dibangku SMU Bhakti Mulia, Jakarta Selatan. Aku melihat Ayah Ikang Fawzi-ku tercinta sangat dibanggakan kedua orangtuanya disaat masih hidup karena sekeluarga besarnya sebagian besar alumni UI. Ayah Ikang sendiri adalah alumni FISIP-UI jurusan Administrasi Niaga, Uwak Ade Fawzi lulusan Fakultas Teknik Arsitektur-UI, dan Bi Didang adalah lulusan Fakultas Psikologi-UI, hanya Mama Uttie kakak tertua Ayah Ikang yang lulusan Akademi Sekretaris di Tokyo, Jepang disaat mereka tinggal di Negeri Sakura tersebut. Walau Mama Uttie Tangkau-Fawzi bukan lulusan UI, namun kemampuan Bahasa Jepang dan Perancis-nya luar biasa anggun serta lancar dimana sejak saat kecil aku selalu terpesona menyaksikannya. Ibu Icha menyatakannya sebagai eloquent begitu. Jadi bukan sekedar fluent semata. Tak ketinggalan tentunya faktor penentu dari Kakekku tercinta yang baru saja almarhum yang bernama Fawzi Abdulrani yang mantan Duta Besar Indonesia Berkuasa Penuh dizaman Presiden Soeharto. Dato’ Fawzi – demikian kami memanggilnya sayang – adalah inspirasiku pertama dan utama. Berbahasa dengan santun serta ‘berisi’ dengan gesture tubuh (semiotika) yang berkelas ditambah semantika yang advance menjadi tuntunan sampai aku lulus dari FIB-UI awal tahun ini. Walau Dato’ Fawzi telah tiada, namun spirit kemampuan diplomasi dan keberbahasaannya tertanam subur didalam diriku. Proses internalisasi kemampuan berbahasa tersebut aku rasakan sebagai sedikit kemewahan hidup titipan Allah didalam kehidupanku didunia ini. Terimakasih banyak Ya Allah…

Menjadi Ibu Guru PAUD
Atas jasa beberapa teman mantan finalis Abang-None Jaksel kemarin, aku mendapatkan kesempatan menjadi ibu guru PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau aku sering mengungkapkannya sebagai Early Child Education. Aku sangat menikmati peran pada target hidup anatarku ini. Memang menjadi Ibu Guru PAUD bukanlah target akhir hidupku nanti. Ada entry point lain yang ingin kujajaki, yaitu menjadi anchor atau pembawa acara ditelevisi. Karenanya sekarang ini aku sedang serius melakukan persiapan memasuki wilayah FISIP-UI dijurusan Komunikasi. Aku sangat ingin menjadi ahli komunikasi. Kata banyak orang kalau aku berbicara dalam Bahasa Inggris baik dan benar, termasuk juga Bahasa Mandarin-ku bahkan walau belum terlalu lancar sebenarnya.

Disaat mengajar menjadi Ibu Guru PAUD, kesabaranku benar-benar terasah. Awalnya aku agak bingung juga menghadapi alam pikir bawah sadar para batita tersebut (bawah tiga tahun). Mereka seakan memiliki dunia tersendiri yang mungkin kupikir sulit untuk ditembus. Namun semakin lama dengan bertambahnya jam terbangku mengajar, aku semakin enjoy dan teramat-sangat menikmati pekerjaan pada target antaraku ini. Rupanya kesenangan mengajar rakyat yang termarjinalkan semacam kelompok masyarakat diffable tunarungu dari Ibu Icha – bahkan saya sering mengikuti Ibu Icha saat Pilkada Banten kemarin dikampung Mbah Yuya-ku di Lebak dan Pandeglang, Banten mengajar masyarakat miskin yang memakan nasi aking dengan berdoa dalam Bahasa Indonesia-Arab-Inggris. Uniknya, dengan kesabaran tinggi para ‘murid’ Ibu Icha tersebut mampu menyerap apa yang diajarkannya walaupun santai kesannya sembari bercanda namun sebenarnya fokus dan serius.

Ibu Icha dan Ayah Ikang serta seluruh keluarga besar Fawzi dan Haque adalah sinar matahari pagiku… inspirasiku yang sangat luar biasa… selamanya… sampai hayat dikandung badan. Apa yang telah mereka wariskan padaku, hari ini aku wariskan ulang kepada para murid-murid kecil-ramai-menyenangkan ini. Kata Ibu Icha itulah bakti kita kepada ummat dan Indonesia. Terimaksih Ibu Icha… terimakasih Ayah Ikang… terimakasih Dato’ Fawzi Abdulrani yang selalu kucintai…

Ya Allah, alhamdulillahirrabilalamiiin…

My Name is Isabella Fawzi



My name is Isabella Muliawati Fawzi. I am the eldest daughter of Ikang Fawzi and Marissa Haque.

I graduated from University of Indonesia.