Sabtu, 19 September 2009

Cerita Adikku Terkasih Marsha Chikita Fawzi

Sumber: http://theanimator-chikitafawzi.blogspot.com/



Ibuku Marissa Haque dan seluruh keluargaku dirumah adalah orang-orang yang dekat dihati dan selalu mendoakan diriku agar aku selamat ditempat menuntut ilmu dinegeri seberang Malaysia ini. Aku mencintai mereka semua sampai mati kelak.

Hubungan Indonesia dan Malaysia memang aneh sejak dulu, namun mereka disini memang jauh lebih progesif dibandingkan tanah airku tercinta. Banyak yang telah kupelajari. Semoga pada saat yang tepat dapat menjadi sumbangsihku bagi Indonesia.


Ibuku sering menyatakan: "Allahu Akbar, Kita Belum Merdekaaa..." Rasanya kok sekarang saya jadi faham tentang maknanya ya? Karena penegakan hukum belum genah, masyarakatnya masih sangat korup... Kasihan bung Karno dan Pak Hatta.

Tapi apakah memang benar kita belum merdeka? Atau sudah merdeka dengan segunung catatan? Lalu siapa sebenarnya yang dapat memberikan jawabannya dari seluruh pertanyaan kritisku ini?

Sabtu, 12 September 2009

Tante Menik Hariyani Kodrat Terkasih: Bella Fawzi


Tak terhingga rasa terimakasihku kepada beberapa karyawan ibu dan ayahku yang sangat setia selama ini mengabdi -- baik disaat suka maupun duka. Salah satunya adalah Tante Menik Haryani Kodrat ini yang sudah hampir mencapai 15 tahun masa pengabdian.
Tante Menik belum menikah karena masih menunggu calon suaminya seorang mualaf warganegara AS yang sekarang sedang kembali ke Maryland, AS dekat Washington DC ibu kota Amerika Serikat itu.
Saya menyayangi Tante Menik, karena kesetiaannya mendampingi Ibu Ichaku terkasih. Semoga Tante Menik sehat selalu dan banyak rezekinya.
Salam kasih, Bella.

Doa Ibu Icha untukku Agar Sepintar Tante Angelina Sondakh, dari FISIP Kom-UI, 2009: Isabella Fawzi


Doa Ibu Icha untukku Agar Sepintar Tante Angelina Sondakh, dari FISIP Kom-UI, 2009: Isabella Fawzi
Ibu Icha dan Ayah Ikang memang sangat pandai didalam memberikan motivasi bagi orang banyak, tak terlupakan tentu pada kami kedua putrinya.
Setelah lulus dari FIB-UI jurusan Bahasa Inggris, saya sekarang ini diterima di FISIP-UI jurusan Komunikasi. Ibu Icha sering mnegatakan bahwa didalam doanya ia selalu mendoakan semoga aku sepintar Tante Angelina Sondakh Massaid. Insya Allah...

Jumat, 11 September 2009

Ayahku Ikang Fawzi dan Cerita Kebun Raya di Bali bersama Menteri PU

Alhamdulillah senang rasanya sebelum memulai bulan Ramdahan tahun ini Ikang Fawzi Ayahku tercinta ku berseri-seri pulang kerumah dengan membawa 'segudang' cerita tentang Kebun Raya di Bali yang harus terus didukung serta diperjuangkan sekaligus juga beberapa pekerjaan projek dari Dep PU tempatnya selama ini bermitra. Terimakasih Ya Allah... atas rezeki halal yang telah Engkau limpahkan kepada kami sekeluarga dirumah pada Ramadhan suci tahun ini... hingga kami mampu berlebaran diakhir bulan ini... BErikut ini berita Ayahku di Kompas Cyber dengan alamat sebagai berikut:

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/18/0320248/Kebun.Raya.dan.Musik


Sabtu, 18 Juli 2009 03:20 WIB Ikang Fawzi (45) laris di acara peringatan 50 tahun Kebun Raya Eka Karya Bali, di Bedugul, Tabanan, Rabu (15/7) malam. Laris bukan karena ia menjual suatu barang, tetapi banyak bapak dan ibu dari berbagai daerah yang datang sebagai undangan kebun raya itu memintanya berfoto bersama. Mereka mengaku sebagai penggemar Ikang Fawzi sejak lama. ”Wah, silakan Pak. Mau bagaimana gayanya, Pak?” kelakar penyanyi rock ini. Namun, kehadirannya di sini bukan sebagai duta kebun raya. Ia diminta teman-temannya yang bekerja di Departemen Pekerjaan Umum untuk mengisi acara hiburan di Kebun Raya Eka Karya Bali.

Apa komentarnya? ”Saya kagum dengan kebun raya ini. Terbayang sehatnya badan dan rohani jika sering menghirup kesegaran alam yang asri, apalagi bareng keluarga,” katanya. ”Otomatis bermusik pun jadi lancar dan menyenangkan. Kebun raya ini membawa aura segar, musik jadi indah dengan sendirinya,” ujar Ikang.

Ia berharap bisa mengunjungi ke-20 kebun raya di Indonesia. Selama ini Ikang baru sempat mengunjungi kebun raya di Bogor, Cibodas, dan Bali. ”Meski baru taraf mengagumi keanekaragaman alam di kebun raya, saya sungguh mendukung pelestarian alam,” tuturnya. (AYS)

Kamis, 10 September 2009

Ya Allah Lindungi Marissa Haque Ibuku dari Kejahatan Calo PPP untuk DPR RI Hak Ibuku Ya Allaaah...



JAKARTA - SURYA- Lama menanti tanpa ada kepastian tindakan, membuat artis yang banting stir menjadi politisi, Marissa Haque, mendatangi lagi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (8/9). Bersama sejumlah caleg yang gagal dalam Pemilu legislatif (Pileg) 2009, Marissa Haque Fawzi didampingi kuasa hukumnya, Dr. H. Eggy Sudjana, SH, MSi. Marissa mempertanyakan soal laporan dugaan politik uang dalam Pileg 2009 yang disampaikan ke KPK dua bulan lalu.

Setelah sempat melakukan protes karena menunggu terlalu lama yakni empat jam, Marissa dan belasan caleg gagal akhirnya difasilitasi untuk bertemu pimpinan KPKMarissa melaporkan Fernita Darwis dan suaminya Darwis Hamid karena diduga telah melakukan kesepakatan tertentu dengan oknum KPU untuk menjual kursinya senilai Rp1
miliar.

Nasib serupa dialami 14 caleg lain dari partai berbeda. Mereka juga menyatakan, kursinya dihargai Rp 1 miliar. Istri Ikang Fauzi itu juga membeberkan pengalaman nyata suaminya dengan broker kursi legislatif saat Pileg lalu. “Kami merasa dipermainkan dan didzolimi KPU. Selama ini kami merasakan negara tidak melindungi hak konstitusi sebagian warga negaranya,” tambah Icha, sapaannya.

Farouk, caleg gagal dari Partai Hanura juga mengaku jadi korban politik karena terjadi abuse of power. Karena itu dia ikut berjuang mendapatkan keadilan. Selain ke polisi dan KPK, kasus juga sudah dilaporkan ke Mahkamah Konstitusi, tapi belum ada tindak lanjut. jbp/nda

Minggu, 06 September 2009

Telah Lama Ibuku Marissa Haque Memaafkan Megawati Soekarnoputri: Tak Ada Dendam Tak Perlu Membalas

Dokumentasi Sekneg Indonesia, Kebumen, Februari 2004

Tulisan untuk Majalah Noor 14 Juli 2004
Oleh: Marissa Haque Fawzi

Kecerdasan Linguistik
Pada sebuah pertemuan dan pembekalan para kader PDI Perjuangan di Jakarta beberapa waktu berselang, sebagai seorang mahasiswa pasca sarjana Ilmu Linguistik, saya dibuat kagum atas pernyataan ditengah bercanda serius seorang Presiden perempuan—Megawati Soekarnoputri. Beliau mengatakan didalam pidatonya: “…saya lebih suka ketika pasangan hidup saya mengatakan Presiden adalah istri saya, dan bukan sebaliknya istri saya Presiden.” Ini adalah sebuah ekspresi jujur dan spontan yang menunjukkan sebuah kepekaan linguistik, sekaligus juga kesadaran akan jati diri dan pentingnya untuk mengekspresikan kepada publik bahwa seorang perempuan juga sangat-sangat mempunyai kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus menjadi bayang-bayang dari pasangan hidupnya. Jujur, saya baru mengenal lebih dekat Presiden kelima Republik Indonesia ini baru selang enam bulan belakangan. Sebelumnya saya yang masih sangat-sangat A-politik, lebih mengenal beliau melalui beberapa riset pribadi antara lain melalui melalui berita-berita dimedia cetak, film-film dokumenter Soekarno muda, serta beberapa film dokumenter tentang dirinya pribadi yang banyak beredar di Amerika Serikat (saat saya bersekolah di Ohio University) yang dibuat oleh para independent filmmaker dari dalam dan luar negeri yang menjunjung HAM serta demokrasi. Pada dasarnya saya memang selalu kagum akan energi para wanita yang mempunyai dedikasi pada pekerjaannya dengan adversity quotion yang tinggi.

Saya memiliki sekurangnya lima orang role model lokal—Megawati Soekarnoputri, Kofifah Indar Parawansa, Erna Witoelar, Sri Adiningsih, dan Marie Pangestu. Dan dalam kesempatan kali ini saya hanya akan memfokuskan kepada Megawati, karena wanita tangguh yang satu ini sedang bertarung memperebutkan posisi Presiden Republik Indonesia ke enam pada tanggal 5 Juli 2004 yang tidak lama lagi akan berlangsung. Dan juga adalah satu satunya kandidat perempuan calom Preiden Republik Indonesia ke enam.Biasanya saya bertemu Ibu Mega, begitu biasa saya menyapa beliau, dibanyak tempat dan kesempatan. Beberapa kali di kantor PDI Perjuangan di Lenteng Agung. Kali lainnya dikediaman beliau di jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Beberapa saat yang lalu, saya sangat sering mendampingi didalam kampanye Legislatif. Lamanya pertemuan-pertemuan yang tidak rutin tersebut sangat bervariasi, ada yang cukup lama tapi lebih sering dalam tempo yang singkat dan pendek tapi bermakna. Namun buat saya bukanlah waktu yang penting, namun kualitas pertemuan yang bermakna yang tak dapat kulupakan. Ibu Mega dalam pengamatan saya adalah sosok kontemplatif yang sangat hemat dalam mengkomentari lawan-lawan politiknya. Beliau dapat kita ukur dari setiap frasa serta diksi yang bermakna metaphorical yang selama ini diungkapkan. Bila kita teliti dengan pendekatan ilmu Linguistics, maka kelasanya adalah advance. Mengapa saya berani mengatakan demikian? Karena menjadi asal bunyi itu mudah, akan tetapi “bunyi” yang keluar dari bibir dengan mencapai sasaran tanpa harus “mematikan” secara telak (menunjuk hidung) lawan-lawannya secara diplomatis, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dengan tingkat kepekaan serta kecerdasan yang tinggi. Kita pernah mempunyai seorang pemimpin dengan tangan besi, pemimpin yang suka bicara akan tetapi menimbulkan keresahan sosial, nah dimata saya Presiden perempuan kita sekarang ini adalah seorang manusia dengan karakter dasar hemat bicara terhadap hal-hal yang tidak produktif, dan memilih untuk lebih banyak berbuat (produktif). Hasilnya dapat dilihat dari beberapa pencapaian yang significant hanya didalam pemerintahan yang hanya dua tahun sepuluh bulan saja. Reaksi Ibu Mega terhadap masalah tenaga kerja Indonesia yang mendapat perlakuan tidak manusiawi di Malaysia (Nirmala Bonat) saya rasakan sebagai langkah yang sangat positif serta menjadi pionir dibandingkan dengan para kandidat Presiden lainnya. Dalam lima program besar Mega-Hasyim yang diusung, didalamnya terdapat undang-undang Buruh Migran yang merupakan langkah proaktif terhadap para penghasil devisa negara terbesar nomor tiga ini.

Upaya positif lainnya yang harus disyukuri oleh kita semua adalah one gate policy (kebijakan satu pintu) di Batam, demi untuk mengontrol semua kegiatan yang berkaitan dengan pengiriman serta pemulangan para TKI/TKWI. Perlindungan inipun akan disempurnakan dengan perbaikan saluran diplomasi, pengawasan dan pengaturan yang sangat ketat npada perusahaan-perusahaan PJTKI yang nakal-nakal serta manipulatif, serta membangun lebih banyak pusat pelatihan yang diperlukan untuk persiapan mereka menghadapi dunia kerja di luar Indonesia.

Bukan Perempuan Biasa
Saya selalu terkesan saat jumpa Ibu Mega. Biasanya beliau memberikan senyum keibuan dengan kontak mata hangat sambil menyapa: “Bagaimana hari ini, sehat?” Sebuah sapaan sederhana namun sejuk. Dimata saya Ibu Mega adalah sosok ibu yang feminin dan religius. Beberapa kali saya menjumpai beliau di jalan Teuku Umar saat baru selesai sholat. Pernah pada suatu saat saya menyaksikan beliau membuatkan tehnya sendiri untuk sang suami tercinta. Juga sebagai seorang Eyang Putri (sang cucu memanggil beliau dengan panggilan sayang Pupu untuk sang kakek dan Mumu untuk sang nenek) mendekap bahagia sang cucu didadanya sabari ketiduran disofa. Sebagai pencinta tanaman (beliau pernah mengenyam kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Pajajaran, Bandung), sekali saya menyaksikan beliau menyapa tanaman-tanaman koleksinya dipagi hari. Sering terlintas dalam kepalaku akan rumitnya hidup seorang perempuan presiden. Alangkah berkurangnya kenikmatan hidup berwira-wiri dengan memakai kimono atau daster dirumah, sementara para pengawal atau ajudan selalu mengitari hampir disetiap langkah geraknya? Sementara seorang perempuan seperti saya, sepulang kerja dengan nikmat memakai masker pelembab wajah, obat jerawat, dan daster rumah kesayangan sembari mengangkat kaki disofa sambil bercanda dengan suami, anak-anak, serta ayah mertua yang kebetulan sekarang tinggal bersama kami dirumah. Menanyakan ini dan itu pada pembantu serta tukang masakku, juga supir kami yang tinggal dirumah. Semua itu saya lakukan tanpa beban, karena memang saya hanyalah perempuan biasa yang ibu rumah tangga tapi sekaligus berkegiatan diluar rumah. Hingga bilamana pada saat yang lain saya menyaksikan wajah Ibu Mega yang biasanya charming kemudian tampak kusut, pasti sesuatu yang besar sedang terjadi. Buat saya yang juga seorang perempuan, hal ini sangat-sangat manusiawi. Seperti halnya seorang ibu terhadap anak-anaknya, maka bila Ibu Mega tampak mengomel kepada anak-anaknya saat rapat internal partai, hal tersebut saya anggap sebagai sebuah ekspresi cinta tulus dari seorang ibu terhadap anak-anaknya karena ingin anak-anaknya tersebut maju dan siap bersaing didalam menghadapi sebuah dunia yang berisi pertarungan dahsyat. Karena jujur saja, saya mulai sangat faham dengan kondisi partai yang saya masuki ini ketika mereka menang dan tidak siap menjadi pemenang pada tahun 1999. Tapi itulah barangkali ujian tapi sekaligus kelebihan seorang perempuan pemimpin partai dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia, tetap menyambut optimis tongkat estafet yang diserahkan kepadanya untuk memimpin sebuah negeri besar dengan 217 juta penduduknya dalam kondisi sosial-ekonomi yang kocar-kacir saat ditinggal oleh beberapa pemimpin sebelumnya. Bila dalam penampilannya beliau—seperti halnya kita para ibu—tampak kesal, ada amarahnya sekali-kali, semua itu ada dalam koridor cinta.

Mewarisi Krisis Multidimensi
Ketika menerima mandate sebagai Presiden RI kelima untuk menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, Ibu Mega mewarisi krisis multidimensi yang telah berakar sebagai warisan dari era Orde Baru. Masih terbayang dibenak kita saat penghujung kejayaan Orba rakyat antri sembako, nilai tukar Rupiah melambung tak terkendali, pembumihangusan kota Jakarta, pembunuhan mahasiwa Trisakti, kasus Semanggi, serta ribuan orang hilang tak tentu rimbanya. Bahkan seorang suami sahabat saya (bintang film Eva Arnaz) turut hilang dengan isu dikremasi hidup-hidup di Cilincing. Kita semuapun masih teringat juga masih merasa trauma besar akan kasus serbuan serta pembunuhan yang terjadi di kantor PDI Perjuangan tanggal 27 Juli. Tapi itulah barangkali salah satu kelebihan dari seorang pemimpin perempuan bernama Megawati yang dengan takdir hidupnya serta ketangguhan (adversity quotion) membawanya pada puncak kepemimpinan negara kita tercinta Indonesia tanpa dilandasi dendam. Beliau mengawali kepemerintahannya dengan bahasa cinta dengan memakai unsur nur didalam Islam. Tak ada dendam, tak perlu membalas, karena yang utama adalah kerja keras untuk menyelamatkan bangsa dan negara tercinta Indonesia untuk hadir dengan harga diri yang tinggi dimata internasioanl serta dapat membanggakan anak cucu.

Bila didalam pemerintahan yang baru 2 tahun 10 bulan ini masih banyak masyarakat mencemooh akan hasil signifikan yang dibuat oleh Ibu Megawati dan tim kerjanya, tentunya karena hidup kita ini bukanlah panggung sandiwara yang dapat dengan mudah disulap dengan cara membalikkan telapak tangan. Dengan sudah mulai terurainya benang kusut yang melilit negeri ini, bantuan IMF yang saat lalu sangat diagungkan oleh kelompok Orba sudah dihentikan, ekonomi makro sudah mulai berdenyut, dan hal-hal positif lainnya mulai muncul, sesungguhnya tinggal kita memberikan kesempatan sekali lagi dalam lima tahun kedepan untuk Ibu Mega membereskan pekerjaan-pekerjaan rumahnya yang belum selesai demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, berdaulat, aman dan bersih dari korupsi.

Insya Allah demikian adanya.

Kamis, 03 September 2009

Tulisan Ibuku Marissa Haque Kenangan Kuliah di FEB, UGM: Isabella Fawzi

Sarung NU dan Bapia Isi Keju: Kenangan dalam Kelas Bu Anita Lestari, FEB, UGM

Oleh Ibuku: Marissa Haque, sumber: http://marissahaque.blogdetik.com/

Empat orang dosen yang mengajarku dikelas S2-ku yang ‘kesekian’ di Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Gajah Mada semuanya orang hebat, rendah hati, sangat down-to-earth, serta mampu mentransfer seluruh ilmu yang sejujurnya belum pernah saya miliki sebelumnya untuk kujadikan bekal didalam menjalani kehidupan sesungguhnya diluar kampus – didalam/diluar negeri – yang lebih sering sangat tidak ramah kepada kita semua tanpa terkecuali. Namun ciri yang menjadi diferensiasi mereka masing-masing dari keempat dosen tersebut didalam mengajar, menjadikan kenangan yang unik-berbeda bagiku. Saya akan memulainya dengan Bu Dra. Anita Lestari, MSi seorang psikolog yang mengajarkan beberapa psychology approaches untuk mata kuliah OB (Organizational Behavior).

Bu Anita yang lembut sapa tersebut mengajarkan antara lain tentang pentingnya arti beradaptasi ditempat kerja, menjembatani jurang pembeda, mampu membuat keputusan penting disaat genting, dan lain sebagainya. Juga ada beberapa pelajaran yang menyangkut ilmu system yang sebelumnya telah saya dapatkan di kelas Doktor PSL, IPB saya ulang kembali dengan pemahaman yang tentu lebih baik melalui kelas Bu Anita ini. Malah ilmuku dimasa kuliah di IPB lalu, diperkaya dengan ilmu Leadership yang merupakan style didalam sebuah management/tata kelola di UGM. Bahkan ketika saya menuliskan final individual paper kemarin, saya mengusung tentang seorang pemimpin yang wajib membantu sebuah tata kelola buntu didalam pencurian kayu hutan/illegal logging di Indonesia melalui ‘tangan besi’ kepemimpinanan hukum dalam system. Bahwa liberalisasi melalui jargon novus ordo seclorum didalam lembaran $1 US, hanya mampu di’patahkan’/dibuat lebih seimbang – sustainable development – bilamana sang pemimpin utama mempunyai visi dan misi kuat didalam decision making-nya.

Mungkin saya termasuk salah satu mahasiswi yang paling kritis dikelas. Bahkan ada sebuah kejadian lucu sehingga nama saya kerap dipanggil Bu Anita dengan julukan “Marissa si Sarung NU,” ceritanya gara-gara kami sekelas diminta untuk menebak sebuah gambar yang memiliki minimal 24 makna didalamnya. Nah, begitu sudah mencapai tebakan ke 15 kami dikelas mulai stuck dan ‘agak-agak’ mulai ‘ngaco.’ Entah dapat ide darimana saya hanya melihat dua tumpuk lilitan diatas gambar mirip nenek-nenek itu seibarat sorban yang terbuat dari kain sarung untuk sholat warna kotak-kotak hijau yang sering dipakai keluarga besar NU-ku di Jawa Timur. Spontan saja saya menjawab: “Sarung NU Bu Anita…” Tentu seisi kelas tertawa terbahak-bahak, tak terkecuali Bu Anita. Dan lengkaplah sudah setelah itu nama saya sering terpanggil dengan “Marissa Sarung NU.” Pernah juga Bu Anita saya puji kelihatan sangat manis ketika pakai jilbab warna hijau – yang memang lain dari kebiasaannya yang lebih sering didominasi jilbab putih atau coklat.
Namun ada yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup – karena yang ini tak pernah dilakukan oleh para dosen lainnya – adalah disaat beberapa kali Bu Anita hadir dikelas khusus membawakan kami Bapia isi beraneka macam rasa. Terharu-biru kami sekelas menikmati jajanan khas Yogyakarta tersebut. Dari berbagai isi yang ada didalamnya, saya menyukai yang isi keju. Sehingga biasa sering ber-email-ria dengan beliau dan ditanyakan mau dibawakan apa dari kampung halamannya, maka spontan kami dikelas mengatakan: ”Bapia Buuuuu…” Kalau sekarang saya ditanya maka akan mengatakan hal yang sama namun dengan sedikit diferensiasi: ” Bapia Isi Keju Buuuuu…” (smile).
Ah!… ngangeni memang kelas Bu Anita itu… tak sabar rasanya untuk bersegera kembali kuliah di FEB, UGM. Libur selama 3 minggu ini rasanya sungguh terlalu lama. Memang terbukti, bahwa sekolah yang baik, respectable university dengan management yang baik serta tidak korup – terkait dengan pidana pendidikan – akan membuat siapapun stakeholders didalamnya merasa betah serta ingin memberikan karya terbaik yang mampu dihasilkannya sebagai anak bangsa.

Terimakasih banyak Bu Anita yang saya sayangi… terimakasih FEB, UGM… jazakumullah khoir… God bless you all.