Minggu, 06 September 2009

Telah Lama Ibuku Marissa Haque Memaafkan Megawati Soekarnoputri: Tak Ada Dendam Tak Perlu Membalas

Dokumentasi Sekneg Indonesia, Kebumen, Februari 2004

Tulisan untuk Majalah Noor 14 Juli 2004
Oleh: Marissa Haque Fawzi

Kecerdasan Linguistik
Pada sebuah pertemuan dan pembekalan para kader PDI Perjuangan di Jakarta beberapa waktu berselang, sebagai seorang mahasiswa pasca sarjana Ilmu Linguistik, saya dibuat kagum atas pernyataan ditengah bercanda serius seorang Presiden perempuan—Megawati Soekarnoputri. Beliau mengatakan didalam pidatonya: “…saya lebih suka ketika pasangan hidup saya mengatakan Presiden adalah istri saya, dan bukan sebaliknya istri saya Presiden.” Ini adalah sebuah ekspresi jujur dan spontan yang menunjukkan sebuah kepekaan linguistik, sekaligus juga kesadaran akan jati diri dan pentingnya untuk mengekspresikan kepada publik bahwa seorang perempuan juga sangat-sangat mempunyai kesempatan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa harus menjadi bayang-bayang dari pasangan hidupnya. Jujur, saya baru mengenal lebih dekat Presiden kelima Republik Indonesia ini baru selang enam bulan belakangan. Sebelumnya saya yang masih sangat-sangat A-politik, lebih mengenal beliau melalui beberapa riset pribadi antara lain melalui melalui berita-berita dimedia cetak, film-film dokumenter Soekarno muda, serta beberapa film dokumenter tentang dirinya pribadi yang banyak beredar di Amerika Serikat (saat saya bersekolah di Ohio University) yang dibuat oleh para independent filmmaker dari dalam dan luar negeri yang menjunjung HAM serta demokrasi. Pada dasarnya saya memang selalu kagum akan energi para wanita yang mempunyai dedikasi pada pekerjaannya dengan adversity quotion yang tinggi.

Saya memiliki sekurangnya lima orang role model lokal—Megawati Soekarnoputri, Kofifah Indar Parawansa, Erna Witoelar, Sri Adiningsih, dan Marie Pangestu. Dan dalam kesempatan kali ini saya hanya akan memfokuskan kepada Megawati, karena wanita tangguh yang satu ini sedang bertarung memperebutkan posisi Presiden Republik Indonesia ke enam pada tanggal 5 Juli 2004 yang tidak lama lagi akan berlangsung. Dan juga adalah satu satunya kandidat perempuan calom Preiden Republik Indonesia ke enam.Biasanya saya bertemu Ibu Mega, begitu biasa saya menyapa beliau, dibanyak tempat dan kesempatan. Beberapa kali di kantor PDI Perjuangan di Lenteng Agung. Kali lainnya dikediaman beliau di jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Beberapa saat yang lalu, saya sangat sering mendampingi didalam kampanye Legislatif. Lamanya pertemuan-pertemuan yang tidak rutin tersebut sangat bervariasi, ada yang cukup lama tapi lebih sering dalam tempo yang singkat dan pendek tapi bermakna. Namun buat saya bukanlah waktu yang penting, namun kualitas pertemuan yang bermakna yang tak dapat kulupakan. Ibu Mega dalam pengamatan saya adalah sosok kontemplatif yang sangat hemat dalam mengkomentari lawan-lawan politiknya. Beliau dapat kita ukur dari setiap frasa serta diksi yang bermakna metaphorical yang selama ini diungkapkan. Bila kita teliti dengan pendekatan ilmu Linguistics, maka kelasanya adalah advance. Mengapa saya berani mengatakan demikian? Karena menjadi asal bunyi itu mudah, akan tetapi “bunyi” yang keluar dari bibir dengan mencapai sasaran tanpa harus “mematikan” secara telak (menunjuk hidung) lawan-lawannya secara diplomatis, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dengan tingkat kepekaan serta kecerdasan yang tinggi. Kita pernah mempunyai seorang pemimpin dengan tangan besi, pemimpin yang suka bicara akan tetapi menimbulkan keresahan sosial, nah dimata saya Presiden perempuan kita sekarang ini adalah seorang manusia dengan karakter dasar hemat bicara terhadap hal-hal yang tidak produktif, dan memilih untuk lebih banyak berbuat (produktif). Hasilnya dapat dilihat dari beberapa pencapaian yang significant hanya didalam pemerintahan yang hanya dua tahun sepuluh bulan saja. Reaksi Ibu Mega terhadap masalah tenaga kerja Indonesia yang mendapat perlakuan tidak manusiawi di Malaysia (Nirmala Bonat) saya rasakan sebagai langkah yang sangat positif serta menjadi pionir dibandingkan dengan para kandidat Presiden lainnya. Dalam lima program besar Mega-Hasyim yang diusung, didalamnya terdapat undang-undang Buruh Migran yang merupakan langkah proaktif terhadap para penghasil devisa negara terbesar nomor tiga ini.

Upaya positif lainnya yang harus disyukuri oleh kita semua adalah one gate policy (kebijakan satu pintu) di Batam, demi untuk mengontrol semua kegiatan yang berkaitan dengan pengiriman serta pemulangan para TKI/TKWI. Perlindungan inipun akan disempurnakan dengan perbaikan saluran diplomasi, pengawasan dan pengaturan yang sangat ketat npada perusahaan-perusahaan PJTKI yang nakal-nakal serta manipulatif, serta membangun lebih banyak pusat pelatihan yang diperlukan untuk persiapan mereka menghadapi dunia kerja di luar Indonesia.

Bukan Perempuan Biasa
Saya selalu terkesan saat jumpa Ibu Mega. Biasanya beliau memberikan senyum keibuan dengan kontak mata hangat sambil menyapa: “Bagaimana hari ini, sehat?” Sebuah sapaan sederhana namun sejuk. Dimata saya Ibu Mega adalah sosok ibu yang feminin dan religius. Beberapa kali saya menjumpai beliau di jalan Teuku Umar saat baru selesai sholat. Pernah pada suatu saat saya menyaksikan beliau membuatkan tehnya sendiri untuk sang suami tercinta. Juga sebagai seorang Eyang Putri (sang cucu memanggil beliau dengan panggilan sayang Pupu untuk sang kakek dan Mumu untuk sang nenek) mendekap bahagia sang cucu didadanya sabari ketiduran disofa. Sebagai pencinta tanaman (beliau pernah mengenyam kuliah di Fakultas Pertanian, Universitas Pajajaran, Bandung), sekali saya menyaksikan beliau menyapa tanaman-tanaman koleksinya dipagi hari. Sering terlintas dalam kepalaku akan rumitnya hidup seorang perempuan presiden. Alangkah berkurangnya kenikmatan hidup berwira-wiri dengan memakai kimono atau daster dirumah, sementara para pengawal atau ajudan selalu mengitari hampir disetiap langkah geraknya? Sementara seorang perempuan seperti saya, sepulang kerja dengan nikmat memakai masker pelembab wajah, obat jerawat, dan daster rumah kesayangan sembari mengangkat kaki disofa sambil bercanda dengan suami, anak-anak, serta ayah mertua yang kebetulan sekarang tinggal bersama kami dirumah. Menanyakan ini dan itu pada pembantu serta tukang masakku, juga supir kami yang tinggal dirumah. Semua itu saya lakukan tanpa beban, karena memang saya hanyalah perempuan biasa yang ibu rumah tangga tapi sekaligus berkegiatan diluar rumah. Hingga bilamana pada saat yang lain saya menyaksikan wajah Ibu Mega yang biasanya charming kemudian tampak kusut, pasti sesuatu yang besar sedang terjadi. Buat saya yang juga seorang perempuan, hal ini sangat-sangat manusiawi. Seperti halnya seorang ibu terhadap anak-anaknya, maka bila Ibu Mega tampak mengomel kepada anak-anaknya saat rapat internal partai, hal tersebut saya anggap sebagai sebuah ekspresi cinta tulus dari seorang ibu terhadap anak-anaknya karena ingin anak-anaknya tersebut maju dan siap bersaing didalam menghadapi sebuah dunia yang berisi pertarungan dahsyat. Karena jujur saja, saya mulai sangat faham dengan kondisi partai yang saya masuki ini ketika mereka menang dan tidak siap menjadi pemenang pada tahun 1999. Tapi itulah barangkali ujian tapi sekaligus kelebihan seorang perempuan pemimpin partai dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia, tetap menyambut optimis tongkat estafet yang diserahkan kepadanya untuk memimpin sebuah negeri besar dengan 217 juta penduduknya dalam kondisi sosial-ekonomi yang kocar-kacir saat ditinggal oleh beberapa pemimpin sebelumnya. Bila dalam penampilannya beliau—seperti halnya kita para ibu—tampak kesal, ada amarahnya sekali-kali, semua itu ada dalam koridor cinta.

Mewarisi Krisis Multidimensi
Ketika menerima mandate sebagai Presiden RI kelima untuk menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid, Ibu Mega mewarisi krisis multidimensi yang telah berakar sebagai warisan dari era Orde Baru. Masih terbayang dibenak kita saat penghujung kejayaan Orba rakyat antri sembako, nilai tukar Rupiah melambung tak terkendali, pembumihangusan kota Jakarta, pembunuhan mahasiwa Trisakti, kasus Semanggi, serta ribuan orang hilang tak tentu rimbanya. Bahkan seorang suami sahabat saya (bintang film Eva Arnaz) turut hilang dengan isu dikremasi hidup-hidup di Cilincing. Kita semuapun masih teringat juga masih merasa trauma besar akan kasus serbuan serta pembunuhan yang terjadi di kantor PDI Perjuangan tanggal 27 Juli. Tapi itulah barangkali salah satu kelebihan dari seorang pemimpin perempuan bernama Megawati yang dengan takdir hidupnya serta ketangguhan (adversity quotion) membawanya pada puncak kepemimpinan negara kita tercinta Indonesia tanpa dilandasi dendam. Beliau mengawali kepemerintahannya dengan bahasa cinta dengan memakai unsur nur didalam Islam. Tak ada dendam, tak perlu membalas, karena yang utama adalah kerja keras untuk menyelamatkan bangsa dan negara tercinta Indonesia untuk hadir dengan harga diri yang tinggi dimata internasioanl serta dapat membanggakan anak cucu.

Bila didalam pemerintahan yang baru 2 tahun 10 bulan ini masih banyak masyarakat mencemooh akan hasil signifikan yang dibuat oleh Ibu Megawati dan tim kerjanya, tentunya karena hidup kita ini bukanlah panggung sandiwara yang dapat dengan mudah disulap dengan cara membalikkan telapak tangan. Dengan sudah mulai terurainya benang kusut yang melilit negeri ini, bantuan IMF yang saat lalu sangat diagungkan oleh kelompok Orba sudah dihentikan, ekonomi makro sudah mulai berdenyut, dan hal-hal positif lainnya mulai muncul, sesungguhnya tinggal kita memberikan kesempatan sekali lagi dalam lima tahun kedepan untuk Ibu Mega membereskan pekerjaan-pekerjaan rumahnya yang belum selesai demi mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, berdaulat, aman dan bersih dari korupsi.

Insya Allah demikian adanya.